Metallic Text Generator at TextSpace.net

Sabtu, 28 November 2009

PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG KEJI

Umar mengumumkan keislamannya dan Muslimin beribadat di
Ka'bah - Piagam pemboikotan - Daya-upaya Quraisy
memerangi Muhammad - Alat propaganda bahasa yang
mempesonakan - Jabr orang Nasrani - Terpengaruhnya
Quraisy pada ajakan yang baru - At-Tufail ad-Dausi -
Delegasi Nasrani - Kekuatiran-kekuatiran Quraisy:
persaingan, kehilangan kedudukan di Mekah, hari
kebangkitan.

ISLAMNYA Umar telah membawa kelemahan ke dalam tubuh Quraisy
karena ia masuk agama ini dengan semangat yang sama seperti
ketika ia menentangnya dahulu. Ia masuk Islam tidak
sembunyi-sembunyi, malah terang-terangan diumumkan di depan
orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia
tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap
di celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan ibadat jauh
dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai
nanti dia beserta Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam
Ka'bah. Disini pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang
dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, takkan mengubah
kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung
kepada Umar dan Hamzah, atau ke Abisinia atau kepada siapa
saja yang mampu melindungi mereka.

Quraisy lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya.
Setelah sepakat, mereka membuat ketentuan tertulis dengan
persetujuan bersama mengadakan pemboikotan total terhadap Banu
Hasyim dan Banu Abd'l-Muttalib: untuk tidak saling
kawin-mengawinkan, tidak saling berjual-beli apapun. Piagam
persetujuan ini kemudian digantungkan di dalam Ka'bah sebagai
suatu pengukuhan dan registrasi bagi Ka'bah. Menurut perkiraan
mereka, politik yang negatif, politik membiarkan orang
kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi hasil
yang lebih efektif daripada politik kekerasan dan penyiksaan,
sekalipun kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka hentikan.
Blokade-blokade yang dilakukan Quraisy terhadap kaum Muslimin
dan terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd'l Muttalib sudah
berjalan selama dua atau tiga tahun, dengan harapan sementara
itu Muhammadpun akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
Dengan demikian dia dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.

Akan tetapi ternyata Muhammad sendiri malah makin teguh
berpegang pada tuntunan Allah, juga keluarganya, dan mereka
yang sudah berimanpun makin gigih mempertahankannya dan
mempertahankan agama Allah. Menyebarkan seruan Islam sampai
keluar perbatasan Mekah itu pun tak dapat pula
dihalang-halangi. Maka tersiarlah dakwah itu ke tengah-tengah
masyarakat Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat agama
yang baru ini, yang tadinya hanya terkurung ditengah-tengah
lingkaran gunung-gunung Mekah, kini berkumandang gemanya ke
seluruh jazirah. Orang-orang Quraisy makin tekun memikirkan
bagaimana caranya memerangi orang yang sudah melanggar adat
kebiasaannya dan menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya
menghentikan tersiarnya ajarannya itu di kalangan
kabilah-kabilah Arab, kabilah-kabilah yang tak dapat hidup
tanpa Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam
perdagangan, dalam kegiatan impor dan ekspor dari dan ke
Ibukota itu.

Quraisy mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi orang
yang dianggapnya sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar
kepercayaan mereka dan kepercayaan leluhur mereka itu. Dengan
tabah dan secara terus-menerus selama bertahun-tahun, apa yang
telah mereka lakukan untuk menghancurkan ajaran baru ini,
sungguh di luar yang dapat kita bayangkan. Muhammad diancam,
keluarga dan ninik-mamaknya, diancam. Ia diejek, ajarannya
diejek. Ia diperolok, dan orang yang jadi pengikutnya juga
diperolok. Penyair-penyair mereka didatangkan supaya
mengejeknya, supaya memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan
orang yang jadi pengikutnya dinista dan disiksa. Ia mau
disuap, ditawari kerajaan, ditawari segala yang menjadi
kedambaan orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari tanah
air, perdagangan dan pintu rejeki mereka dibekukan. Ia dan
sahabat-sahabatnya diancam dengan perang serta segala
akibatnya yang mengerikan.

Akhirnya blokade, akan dibiarkan mati kelaparan jika mungkin.

Tetapi, sungguhpun begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara
yang amat baik tetap ia mengajak orang menerima kebenaran,
yang hanya karena itu ia diutus Tuhan kepada umat manusia,
sebagai pembawa berita gembira, dan peringatan. Bukankah sudah
tiba waktunya Quraisy meletakkan senjatanya, dan mempercayai
Al-Amin, orang yang dikenalnya sejak masa anak-anak, sejak
masa muda belia, sebagai orang yang jujur, tak pernah
berdusta!? Ataukah mereka sudah mencari alat lain selain
senjata perang seperti disebutkan, dan lalu terbayang oleh
mereka, bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu
kedudukan berhala-berhala mereka akan dapat dipertahankan
sebagai pusat ketuhanan mereka seperti yang mereka duga, dan
Mekahpun akan dapat dipertahankan sebagai museum
berhala-berhala dan tempat yang disucikan karena
berhala-berhala itu akan tetap berada di Mekah?!

Tidak! Belum tiba saatnya bagi Quraisy akan tunduk dan
menyerah. Mereka sekarang sedang dalam puncak kekuatirannya
bila seruan Muhammad ini nanti akan tersebar di kalangan
kabilah-kabilah Arab sesudah terlebih dulu tersebar di Mekah.

Tinggal satu senjata lagi pada mereka sekarang yang sejak
semula sudah menjadi pegangan dan kekuatan mereka, yaitu
senjata propaganda: propaganda dengan segala implikasinya
berupa perdebatan, argumentasi-argumentasi, caci maki,
penyebaran desas-desus serta sifat merendahkan argumen lawan
dengan menganggap alasan-alasannya sendiri yang lebih baik.
Propaganda melawan akidah dan pembawa akidah disertai
tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Propaganda yang
tidak hanya terbatas pada Mekah saja - sebenarnya buat Mekah
ini sudah tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah
pedalaman lain serta kabilah-kabilahnya, semenanjung jazirah
serta semua penduduknya. Dengan mengadakan ancaman bujukan,
teror dan penyiksaan, propaganda tidak diperlukan lagi buat
Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah tiap tahun
masih tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan
dan berziarah. Mereka berkumpul di pasar-pasar 'Ukaz, Majanna
dan Dhul-Majaz, yang kemudian berziarah sambil menyembelih
kurban, mengharapkan berkah dan ampunan.

Oleh karena itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy
dengan Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat
propaganda anti Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan
hal ini sesudah orang-orang yang berziarah itu diajaknya
supaya beribadat hanya kepada Allah yang Esa dan tidak
bersekutu. Hal ini sudah terpikir olehnya sejak tahun-tahun
pertama dari kerasulannya itu. Pada mulanya, sejak masa
kerasulannya, ia adalah seorang nabi, sampai datangnya wahyu
menyuruh ia memperingatkan keluarga-keluarganya yang dekat.
Setelah ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di
antara mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang
masih kepala batu dan mau berpikir-pikir dulu, ia masih
berkewajiban mengajak bangsanya sendiri, seluruh masyarakat
Arab, untuk kemudian meneruskan kewajibannya itu mengajak
seluruh umat manusia.

Setelah terpikir akan mengajak orang yang datang berziarah
dari berbagai macam kabilah Arab itu beribadat kepada Allah,
beberapa orang dari kalangan Quraisy datang berunding dan
mengadakan pertemuan di rumah Walid bin'l-Mughira: Maksudnya
supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu satu sama lain
mereka tidak bertentangan, dan tidak saling mendustakan
mengenai apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab
yang datang musim ziarah itu. Ada yang mengusulkan, supaya
dikatakan saja, bahwa Muhammad itu dukun. Tetapi al-Walid
menolak pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad bukan
kumat-kamit seorang dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa
Muhammad itu orang gila. Walidpun menolak pendapat ini, sebab
gejala atas tuduhan demikian tidak tampak. Ada lagi yang
menyarankan supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang sihir.
Juga di sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan
rahasia juru tenung atau sesuatu pekerjaan tukang-tukang
sihir.

Sesudah terjadi diskusi akhirnya Walid mengusulkan supaya
kepada peziarah-peziarah orang-orang Arab itu dikatakan bahwa
dia (Muhammad) seorang juru penerang yang mempesonakan,1 apa
yang dikatakannya merupakan pesona yang akan memecah-belah
orang dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isteri dan
keluarganya. Dan apa yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab
pendatang itu merupakan bukti, sebab penduduk Mekah sudah
ditimpa perpecahan dan permusuhan. Padahal sebelum itu
penduduk Mekah merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan
yang paling kuat

Pihak Quraisy pada musim ziarah itu segera menyongsong
orang-orang yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka
jangan mendengarkan orang itu dan pesona bahasanya. Jangan
sampai mereka itu mengalami bencana seperti yang dialami
penduduk Mekah dan menjadi api fitnah yang akan membakar
seluruh jazirah Arab.

Akan tetapi propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri,
juga tidak dapat melawan penerangan yang mempesonakan yang
sudah dipercayai orang itu. Kalau memanglah kebenaran yang
dibawa oleh penerangan yang mempesonakan itu, apa salahnya
orang mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui
kelemahannya dan menyatakan perlawanannya merupakan suatu
propaganda yang ampuh? Di samping propaganda itu Quraisy harus
punya propaganda lain lagi. Untuk propaganda itu Quraisy akan
mendapatkannya pada Nadzr b. Harith. Manusia Nadzr ini adalah
setannya Quraisy, orang yang pernah pergi ke Hira dan
mempelajari cerita raja-raja Persia, peraturan-peraturan
agamanya, ajaran-ajarannya tentang kebaikan dan kejahatan
serta tentang asal-usul alam semesta. Setiap dalam suatu
pertemuan Muhammad mengajak orang kepada Allah, serta
memperingatkan mereka tentang akibat-akibat yang telah menimpa
bangsa-bangsa sebelumnya yang menentang peribadatan kepada
Allah, ia lalu datang menggantikan tempat Muhammad dalam
pertemuan itu. Maka berceritalah ia kepada Quraisy tentang
sejarah dan agamanya, lalu katanya: Dengan cara apa Muhammad
membawakan ceritanya lebih baik daripada aku? Bukankah
Muhammad membacakan cerita-cerita orang dahulu seperti yang
kubacakan juga? Quraisypun lalu menyebarkan kisah-kisah Nadzr
itu dengan jalan bercerita lagi sebagai propaganda atas
peringatan dan ajakan Muhammad kepada mereka itu.

Dalam pada itu di Marwa Muhammad sering duduk-duduk dengan
seorang budak Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang
Quraisy menuduh, bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad
itu, Jabr inilah yang mengajarnya. Apabila ada orang yang mau
meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya, maka agama Nasrani
inilah yang lebih utama. Jadi tuduhan inilah yang di
desas-desuskan oleh Quraisy. Untuk itulah datang Firman Tuhan:

"Kami sungguh mengetahui bahwa mereka berkata; yang
mengajarkan itu adalah seorang manusia. Bahasa orang yang
mereka tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini adalah bahasa
Arab yang jelas sekali." (Qur'an: 16: 103)

Dengan propaganda semacam itu dan sebangsanya Quraisy
memerangi Muhammad lagi dengan harapan akan lebih ampuh
daripada gangguan yang dialaminya dan siksaan yang dialami
pengikut-pengikutnya. Akan tetapi kuatnya kebenaran dalam
bentuk yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan
Muhammad, lebih tinggi dari yang mereka katakan. Makin sehari
makin tersebar juga itu di kalangan orang-orang Arab. Tufail
b. 'Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan penyair cendikiawan,
ketika datang di Mekah segera dihubungi oleh Quraisy dengan
memperingatkannya dari Muhammad dan kata-katanya yang
mempesonakan itu, yang hendak memecah-belah orang dengan
keluarganya, bahkan dengan dirinya sendiri. Mereka kuatir
kalau peristiwa seperti Mekah itu akan menimpa mereka juga.
Jadi sebaiknya jangan mengajak dan jangan mendengarkan dia
bicara.

Hari itu Tufail pergi ke Ka'bah. Muhammad sedang di sana.
Ketika ia mendengarkan kata-kata Muhammad, ternyata itu
kata-kata yang baik sekali. "Biar aku mati, aku seorang
cendekiawan, penyair," katanya dalam hati. "Aku dapat mengenal
mana yang baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau
aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu!
Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk akan
kutinggalkan."

Diikutinya Muhammad sampai di rumah. Lalu dikatakannya apa
yang terlintas dalam hatinya itu. Muhammad menawarkan Islam
kepadanya dan dibacakannya ayat-ayat Quran. Laki-laki itu
segera menerima Islam dan dinyatakannya kebenaran itu dengan
mengucapkan kalimat Syahadat.
Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri
diajaknya mereka itu menerima Islam. Merekapun ada yang segera
menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat. Dalam pada
itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka sudah
pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah
susunan politik dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah,
merekapun menggabungkan diri kepada Nabi.

Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh
saja dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan
Muhammad ini bukan terdiri dari hanya penyembah-penyembah
berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu pernah datang
kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar
berita itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan
kata-katanya. Merekapun menerima,mereka beriman dan
mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram,
sehingga mereka juga dimaki-maki.

"Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat
seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal
benar-benar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan dan
lalu percaya saja apa yang dikatakannya."

Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur
menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam.
Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka
masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri
kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.

Tetapi apa yang terjadi terhadap diri Muhammad lebih hebat
lagi dari itu. Orang Quraisy yang paling keras memusuhinya
sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri: benarkah ia
mengajak orang kepada agama yang benar? Dan apa yang
dijanjikan dan diperingatkan kepada mereka, itu pula yang
benar?

Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syariq
malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang
membaca Qur'an di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil
tempat sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu
sama lain tidak saling diketahui. Muhammad yang biasa bangun
tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca Qur'an dengan
tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat
suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.

Tetapi sesudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu
terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan,
ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang
masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan mereka
akan berpihak kepada Muhammad.

Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak,
seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang semalam itu
juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Qur'an. Hampir
fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka satu sama
lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian
itu tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam
ketiga.

Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi
dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka
untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian
itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam
jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama
lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka
dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir
akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin
masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun akan jadi
lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.

Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut
Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau
penguasa di atas mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki
yang sungguh rendah hati, sangat mencintai masyarakatnya,
setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat
halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang miskin
atau yang lemahpun ia merasa takut. Setiap ia mengalami
penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia sudah merasa
mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia sedang
dengan al-Walid bin'l-Mughira, salah seorang pemimpin Quraisy
yang diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum
yang buta, dan minta diajarkan Qur'an kepadanya. Begitu
mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal karenanya,
mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya
orang buta itu dengan muka masam.

Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya
memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu
dengan ayat-ayat berikut:

"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya.
Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang
bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna
baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau
menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak
bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang
kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu
adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah
memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang
dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis
dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang
bersih." (Qur'an: 80: 1-16)

Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy
menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama sesudah
hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan masa masa
silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa
mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat bahwa ajaran
Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?

Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu membuat
orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang
konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat
terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam hatinya selalu
terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka,
mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya
sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan
yang masih melekat, betapapun tingginya tingkat kebudayaan
orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali tempat
melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat
baru yang dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur dan disaring.
Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar
dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja,
di mana saja dan dari siapa saja. Oleh karena pada setiap
bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih,
maka jumlah mereka selalu sedikit. Mereka selalu mendapat
perlawanan, yang datangnya terutama dari orang-orang kaya,
orang orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mereka
takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka,
akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain
dengan cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain
yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi
mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka,
dan tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian,
sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu
benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam
hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama
adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang
hawa-nafsu itu. Yang memiliki kedudukan, yang memiliki
kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.

Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang
mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya
tergantung kepada mereka, supaya memusuhi penganjur
pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan
bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat
ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan
kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang
tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan
kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil
itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting
ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat
memahami, bahwa kebenaran itu tidak akan tahan tinggal
terkurung dalam tembok-tembok kuil betapapun indah dan
agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu
bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa
seorang tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah
peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.

Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka yang
pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Qur'an
itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang
banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak
membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang hartanya
berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada
seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:

"Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa)." (Qur' an,
49: 13)

Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan
kepercayaan leluhur mereka, bukanlah hal itu karena dilandasi
oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah
terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu.
Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya
karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan
untuk itu pula mereka bertempur mati-matian.

Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi
pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b.
Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara
tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah
masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin
jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya
tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi
dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya
saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya
penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi .a.s.
menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya,
sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."

Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu didatangkan
kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan
pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b. 'Umair
ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah
pembesar-pembesar dua kota."

Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:

"Dan mereka berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan
kepada orang besar dari dua kota itu?' Adakah mereka
membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan
penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43:
13-32)

Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam
berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam
cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di
rumahnya. "Abu'l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu tentang yang
kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.

"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling
memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf.
Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung
kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami
dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba
kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima
"wahyu dari langit." Kapan kita akan menjumpai yang semacam
itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan
membenarkannya."

Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa orang-orang
badui itu ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling
bertentangan. Dalam hal ini salah sekali bila orang mencoba
mau menutup mata atau tidak menilainya sebagaimana mestinya.
Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaan nafsu yang
begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi
pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup
panjang, latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal diatas
dorongan nafsu, jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi
sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari
lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang
dari kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran
yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari harta
karun, dari kebesaran Iskandar (Agung) dan dari kerajaan
seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk
kebenaran itu.
Diluar itu, untuk mencapai tingkat pengertian yang lebih
tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta benda duniawi, oleh
kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk kepentingan
duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang
dan bertempur. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghambat
mereka menancapkan kuku dan gigi mereka ke batang leher
kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang tinggi itu.
Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka
akan diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.

Bagaimana pendapat kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu
yang melihat Muhammad makin sehari makin banyak pengikutnya?
Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu suatu
ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang
sudah setia kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai
kepada orang-orang Arab di seluruh jazirah. Sebelum melakukan
itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika dapat
mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda,
pemboikotan, blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap
musuh-musuh besar mereka itu.

Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah
mereka takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka
pada Hari Perhitungan kelak. Kita sudah melihat masyarakat
yang begitu hanyut dalam hidup bersenang-senang dengan cara
yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap perdagangan dan riba
itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada
sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Disamping
itu, dengan membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa
mereka itu sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu
nasibnya dengan qidh (anak panah) di depan Hubal, sebelum ia
melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak
panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya
kejahatan-kejahatan dan dosa-dosanya itu diampuni oleh
berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang untuk
berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan,
perampokan, melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan
pelacuran selama ia mampu memberi suap kepada dewa-dewa itu
berupa kurban-kurban dan penyembelihan-penyembelihan.

Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu
menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena
ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari
Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian
baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah
perbuatan mereka sendiri.

"Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala
seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya.
Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan
urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri.
Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada
hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang
ingkar, orang-orang yang sudah rusak." (Qur'an, 80: 33-42)

Dan suara dahsyat itu datang.

"Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan
gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan
akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri
kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus
diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya.
Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan
semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan diri.
Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun
tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan
yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan
menyembunyikannya." (Qur'an, 70: 8-18)

"Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan
ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan
kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia!
Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan
nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup.
Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali.
Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang
kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya
diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku
tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana
perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak
dapat menolong aku. Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang
bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu, campakkan ia kedalam
api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai, panjangnya
tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang
Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada
orang miskin. Maka, sekarang disini tak ada lagi kawan
setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang
hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa."(Qur'an, 69: 18-37)

Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah
merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebahagian kecil dari
yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita
membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula membacanya,
mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang
terdapat dalam Qur'an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika
kita membacanya kembali.

"... Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti
dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan."
(Qur'an, 4: 56)

Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah
memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama
orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam
itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa,
mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam
lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.

Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa
meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan
tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal
arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa
yang didengarnya itu. Tidak ada diantara mereka itu yang
membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia
akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya.
Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari
kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan
mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan
dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh
tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk
memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang
mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib
yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa
apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi
akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka
menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka
mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan
mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta
menyembelih kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap
segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.

Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati,
mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai
surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk
mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah
terlintas dalam pikiran mereka.

Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam
agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar
dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang
mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang
memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam
perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut
hanya dengan mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih
juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlumba-lumba
memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si
lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan
melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang
dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh
manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya
menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala
suka dan dukanya.

Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti
langit dan bumi, disitu takkan terdengar cakap kosong, juga
tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan "selamat."
Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata itulah yang
ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah
lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang
segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam
kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari
pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari
pembalasan itu.

Boleh jadi orang akan merasa heran bagaimana jantung
orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau
menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada.
Padahal perjuangan antara yang baik dengan yang jahat itu
sudah berkecamuk dalam sejarah manusia sejak dunia ini
berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam.
Orang-orang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan
Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan
untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula "Kitab
Orang Mati" lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan
peringatan-peringatan. Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula
gambar-gambar timbangan, perhitungan, taubat dan siksaan.
Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam
Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk
makhluk-makhluk yang sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa
sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya menjadi suci.
Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin
mencapai Nirwana.

Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya
perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa
Cahaya. Juga agama yang dibawa Musa, agama yang dibawa
Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan yang kekal,
adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaanNya. Sekarang orang-orang
Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka
adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah
mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana
mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan
menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah
orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan
alam lepas tak terbatas. Lebih mudah bagi mereka melukiskan
ruh-ruh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma pada siang
hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam
gulita. Ruh-ruh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka
anggap bersemayam dalam diri berhala-berhala yang akan
mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.

Jadi sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam
gaib yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, mereka sebagai
masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih cenderung pada yang
nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup
bersenang-senang, minum minuman keras, sama sekali mereka
menolak adanya balasan hari kemudian. Apa yang diperoleh orang
dalam hidupnya, menurut anggapan mereka, baik atau buruk
adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi
sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi
peringatan dan berita gembira pada mula kerasulan itu
kebanyakannya turun di Mekah; karena ia ingin menyelamatkan
ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula
bila ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah
mereka lakukan itu. Sudah sepatutnya pula bila ia ingin
mengangkat mereka dari lembah penyembahan berhala kepada
penyembahan Allah Yang Tunggal, Maka Kuasa.

Demi keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya,
Muhammad serta orang-orang yang beriman sudi memikul segala
macam siksaan dan pengorbanan, memikul penderitaan rohani dan
jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah tumpah darah,
menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah
kita lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam
kepada mereka, makin besar hasratnya ingin menyelamatkan
mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih
besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari
Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada
mereka guna menolong mereka dari penyakit paganisma dan
gelimang dosa yang.menimpa mereka itu. Pada tahun-tahun
permulaan itu tiada henti-hentinya wahyu memperingatkan dan
membukakan mata mereka.

Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak mau mengakui, tetap
menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang
mati-matian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam
sesudah Islam mendapat kemenangan, sesudah Allah
menempatkannya diatas segala agama.

Read More......

Jumat, 06 November 2009

DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR

Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal - Wahyu
terhenti - Islamnya Abu Bakr - Muslimin yang mula-mula
- Ajakan Muhammad kepada keluarganya - Quraisy
menghasut penyair-penyairnya terhadap Muhammad -
Muhammad menista dewa-dewa Quraisy - Utusan Quraisy
kepada Abu Talib - Kedudukan Muhammad terhadap
pamannya - Quraisy menyiksa kaum Muslimin - Kaum
Muslimin hijrah ke Abisinia - Islamnya Umar.

MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh
kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi
mengajaknya bicara itu.

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang
sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah
menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami
itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam
kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang
benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa
kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh
kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah
diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang
begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah
menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi
seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana
saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata
yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata
hatinya Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu
harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib
yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada
kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan
mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak
paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa
adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal
Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam
bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan
didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan
Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan
harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar,
kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang
memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah
menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan
sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya
tetap tabah."

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur
harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia
menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah
membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya
malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan.
Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan
perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima
lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:
17)

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih
besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya
kembali ia tidur dan beristirahat.

"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah,"
jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya
mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia
menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila
Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya
benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang
berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar
kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran
semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa,
kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung
melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia,
manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke
sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat
mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan,
bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth
itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala
pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah kerasulannya.
Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat
itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang,
didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya.
Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah
tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan
mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa
berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah
Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti
yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan
didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti
aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang
sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya
dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan
adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan merasakan
pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy
supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan
mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan
sanak famili yang dekat.

Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa
yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia
mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih
tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah
menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan
jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya
mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang
baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar
mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka
buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni
segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka
lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu.
Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka
lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia
memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi
tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa
dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian
mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya
itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam
semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian
mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi
oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat
petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan
berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang
yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang
sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala
seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di
tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat
kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama
nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka
yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang
yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan
membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda
hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai
kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan
manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya
kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi
masalah besar itu.

Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi
masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi
jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak
datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu.
Ia merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia
merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon
Khadijah pernah mengatakan kepadanya: "Mungkin Tuhan tidak
menyukai engkau."

Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya
lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua
Hira'. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya,
menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia
lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun
tidak pula kurang rasanya.

Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan
adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi
ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya:
Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira'
atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi
hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu
berakhir?

Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu - sesudah
sekian lama terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman
Tuhan:

"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap
kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa
benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau
daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari
Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati. Bukankah
Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya tempat
berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu
diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta,
jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)

Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa
gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya.
Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan
penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan
sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi merasa
takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua
dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang
sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.

Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan
hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar
menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi
bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang
selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya
pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih baik
buat kau daripada yang sekarang."

Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu,
dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di
langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa
yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya
bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang
cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan
dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia
harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan
mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi
menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta,
jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan
telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah
itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya
Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin,
telah diberi kekayaan dengan amanat Tuhan kepadanya.
Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan
yang penuh cinta kasih, yang memberi nasehat dengan rasa
kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu
diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu.
Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.

Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.

Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun
bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin
Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu
suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu
Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali
berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa itu adalah
yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim: "Abu Talib
saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang
mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya
itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun seorang untuk
kemudian kita asuh."

Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh
Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali
menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan
sujud serta membaca beberapa ayat Qur'an yang sampai pada
waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak ifu tertegun
berdiri: "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya setelah
sembahyang selesai.

"Kami sujud kepada Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku
menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah
Allah"

Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa nabi
utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan
'Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Qur'an. Ali
sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.

Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu.
Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi besoknya ia memberi
tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti
mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. "Tuhan
menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib.
Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah
Allah."

Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian
Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih
terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia
sendiri, isterinya, kemenakannya dan bekas budaknya. Masih
juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy
itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula
kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah
nenek moyang mereka itu.

Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah
teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah
diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan
dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang
diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan
penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama
tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat
serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi
memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu.
Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih
akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk
kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang
masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau
menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana
lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan
pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan
dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!

Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera
diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang
seorang pria yang rupawan. "Menjadi kesayangan masyarakatnya
dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang
Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui
segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat.
Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup
terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka
mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena
ilmunya, karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang
baik."

Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr
diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b.
'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b. Abi Waqqash dan Zubair
bin'l-'Awwam mengikutinya pula menganut Islam. Kemudian
menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi yang
lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu
datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya
menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.

Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak
Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka
kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila
mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah
gunung di Mekah. Keadaan serupa ini berjalan selama tiga
tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk
Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin
memperkuat iman kaum Muslimin.

Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena
teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh
bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh
kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu berlaku
adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. Pandangannya
terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara
dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih,
lemah-lembut dan mesra. Malam haripun, dalam ia bertahajud,
malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan
kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari
pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu
dihadapkan hanya kepada Allah. Dia. yang menyerapkan hidup
semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung kehidupannya
sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah
beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya
kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah
berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka
dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya
belum lagi disentuh iman.

Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal
arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan
arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum
yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang
tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar
di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria
dan wanita.

Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang
ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih
berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak
menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan
lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss,
Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada
kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan menang ialah
Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai
kurban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat
dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat
kemenangan.

Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah
datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan
itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu
datang:

"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat.
Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang
mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau,
katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.'"
(Qur'an 26: 214-216)

"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak
usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94)

Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke
rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka
kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu menyetop
pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan
tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang
mereka.

Selesai makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada
seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu
ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan
kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan
akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu
sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam
hal ini?"

Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan
meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu ia
masih anak-anak, belum lagi balig.

"Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah
lawan siapa saja yang kautentang."

Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa
terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib
kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya
dengan ejekan.

Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari
keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah.
Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat
Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: "Muhammad
bicara dari atas Shafa." Mereka lalu datang berduyun-duyun
sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"

"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa
pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah
kamu?"

"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum
pernah kami melihat engkau berdusta."

"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang
sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf,
Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah
memerintahkan aku memberi peringatan kepada
keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau
akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat
kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan
selain Allah."

Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki
berbadan gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil
meneriakkan: "Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan
kami?"

Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi
kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:

"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada
gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat
akan menggulungnya" (Qur'an 102:1-8)

Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang
lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di
kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja
orang yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih
mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan
untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah
diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang
berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri.
Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan
memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam
kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh
(lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu
menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan
terhadap jiwa.

"Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak.
Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu
ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan
meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat neraka. Kemudian, tentu
akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu
kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu."
(Qur'an 111: 1-3)

Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu!
Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak
ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap
manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya!
Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan
pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada
Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada
Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang
Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin
(pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusiapun, atau
malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara Allah
dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang
Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai
pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan,
yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah
yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang
semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya.
Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat
balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang
lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu
Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu -
sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia
tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni
oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah
menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?

Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan
Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar
bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu
merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang
mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara
mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang
dinamakannya kenabian itu.

Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah
membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr
bin'l-'Ash dan Abdullah ibn'z-Ziba'ra, supaya mengejek dan
menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga
tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang
harus melayani.

Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang
tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan
dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti pada
Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak
disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu
dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa
Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul
di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang
yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat
Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata
air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu
betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?

Tidak hanya sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau
mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ejekan mereka
makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu
tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan
supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?

Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang
kepada Muhammad menjawab debat mereka

"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak
bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak
Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya
kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku.
Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira
bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188)

Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira.
Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak
masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali
yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?
! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang
bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang
diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang
sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula
mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal
kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan
yang benar itu adalah mujizat dari segala mujizat? Kenapa
mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi
dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu
nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah
mereka atau tidak?

Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak
lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau
berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang
tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya.
Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut
pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang
dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup,
tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau
membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya
iapun takkan dapat mempertahankan diri.

Muhammadpun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala
mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia
mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan
demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan
dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta
apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia,
sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka.
Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok
kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa,3 atau
disekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah
mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan
berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu
sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah
nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, 'Uzza dan semua
berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan,
melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau,
andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah
melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil
apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan
bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?

Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia
sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah
menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu
pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan diketahui oleh Abu
Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.

"Abu Talib," kata mereka, "kemenakanmu itu sudah memaki
berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai
harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita.
Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah
kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga
seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak
kami menghadapi dia."

Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali.
Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas
dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.

Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi
mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai 'Umara
bin'l-Walid bin'l-Mughira, seorang pemuda yang montok dan
rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat,
dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka.
Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan
Quraisypun terus juga berkomplot.

Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.

"Abu Talib'" kata mereka, "Engkau sebagai orang yang
terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta
supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga
kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang
memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan
kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia
diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak
nanti binasa."

Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan
dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau
membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus
dilakukannya?

Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan
Quraisy. Lalu katanya: "Jagalah aku, begitu juga dirimu.
Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul."

Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah
sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu
hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian
menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi
dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus
dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah
gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan
kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan
busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu,
memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia
dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan
mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa
manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?

Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela
dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan
melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak
berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy
yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah
rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran.
Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang.
Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu
sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian
itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan
meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman
kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah
atau ragu-ragu.

Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia
menoleh kepada pamannya seraya berkata:

"Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan
maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan
kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan
kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya."

Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman
itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad,
tertegun ia. Ternyata ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan
kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga
hidup yang ada.

Muhammad berdiri. Airmatanya terasa menyumbat karena sikap
pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas
kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang
ditempuhnya itu.

Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia
masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan
sikap kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad
datang lagi, yang lalu katanya: "Anakku, katakanlah
sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun
juga!"

Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib
disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib.
Pembicaranya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana
yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya
Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua
menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia
menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak
lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah
tentu karena terpengaruh oleh fanatisma golongan dan
permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi
bukan fanatisma itu saya yang mendorong Quraisy bersikap
demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan
yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad
di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta
ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang
Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di
kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah
seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka dapat
membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam
menyatakan pendiriannya, seperti yang pernah dilakukan oleh
Umayya b. Abi'sh-Shalt dan Waraqa b. Naufal dan yang lain.
Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak dapat mereka
pastikan - maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun
akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas
dasar kebenaran, maka orangpun akan meninggalkannya seperti
yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran demikian ini
tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari
tradisi yang ada dan dia sendiripun akan diserahkan kepada
musuh supaya dibunuh.

Terhadap gangguan Quraisy ia dapat berlindung kepada
goIongannya, seperti kepada Khadijah bila ia mengalami
kesedihan. Baginya - dengan imannya yang sungguh-sungguh dan
cinta-kasihnya yang besar - Khadijah adalah lambang kejujuran
yang dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang dapat
menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul
karena siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya
serta melakukan penyiksaan terus-menerus terhadap
pengikut-pengikutnya.

Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah mengenal
hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu langsung menyerbu
kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa dan dipaksa
melepaskan agamanya; sehingga di antara mereka ada yang
mencampakkan budaknya, Bilal, ke atas pasir di bawah terik
matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan batu dan akan
dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam!
Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: "Ahad, Ahad,
Hanya Yang Tunggal!" Ia memikul semua siksaan itu demi
agamanya.

Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal
mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan.
Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa itu
oleh Abu Bakr dibeli - diantaranya budak perempuan Umar
bin'l-Khattab, dibelinya dari Umar [sebelum masuk Islam]. Ada
pula seorang wanita yang disiksa sampai mati karena ia tidak
mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.

Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina
dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami
gangguan-gangguan - meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim
dan Banu al-Muttalib. Umm Jamil, isteri Abu Jahl, melemparkan
najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad hanya
membuangnya saja. Dan pada waktu sembayang, Abu Jahl
melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih
untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan
demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, puterinya, supaya
mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di
samping semua itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata
biadab dan keji kemana saja mereka pergi.

Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin
tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka
menerima siksaan dan kekerasan itu - demi akidah dan iman
mereka.

Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad a.s. ini
adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh
sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi
pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta
kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang
menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran itu.
Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka
yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari
belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup kedalam jiwa
manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat memalukan.

Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan yang
lain - ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya,
orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah.
Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya
diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin
gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya
itu sudah padat oleh ucapannya: "Demi Allah, kalaupun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di
tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas
ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang
akan membuktikan kemenangan itu; di tanganku atau aku binasa
karenanya."

Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi
mereka, mautpun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan
membimbing Quraisy ke arah itu. Kadang orang heran, iman sudah
begitu mempersonakan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini
belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur'an yang turun masih
sedikit. Kadang juga orang mengira, bahwa pribadi Muhammad,
sifatnya yang lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta
kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di samping kemauan yang
keras dan pendiriannya yang teguh, adalah sebab dari semua
itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada
sebab-sebab lain yang juga patut diperhatikan yang tidak
sedikit pula ikut memegang peranan.

Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip
sebuah republik Dari segi keturunan ia menempati puncak yang
tinggi. Hartapun sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia
dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci Ka'bah dan penguasa
urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada
mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta
kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama.
Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi
sebelumnya. Musa yang dilahirkan di Mesir bertemu dengan
Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga
yang berkata: "Aku adalah tuhanmu yang tertinggi," yang
dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada
orang dengan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan
pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan
adalah revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus.
Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air
dengan syaduf dari sungai Nil itu dihadapan Tuhan sama
sederajat? Jadi dimana ketuhanan Firaun itu dan dimana pula
ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan
revolusi itupun terlebih dulu harus bersifat politik.

Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa itu sudah mendapat
perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian, supaya orang
menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mujizat-mujizat. Ia
melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular
yang bergerak-gerak, menelan semua hasil pekerjaan tukang
tukang sihir Firaun itu. Itupun tidak memberi hasil apa-apa
buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanah airnya. Dalam
hijrahnya itupun diperkuat pula ia dengan sebuah mujizat yaitu
terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu.

Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan Palestina,
yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di
bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya
sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi,
mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu dan
bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan
belaskasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap
pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga
diperkuat dengan mujizat-mujizat: menghidupkan orang mati dan
menyembuhkan orang sakit; dan yang lain diperkuat oleh Ruh
Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu pada
dasarnya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga,
lepas dari detail yang bukan tempatnya untuk dijelaskan di
sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam ini, dan yang
terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya juga.

Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan di
atas, sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual.
Dasarnya adalah mengajak kepada kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari mula sampai
akhir. Karena jauhnya dari segala pertentangan politik,
struktur republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah
mengalami sesuatu kekacauan.

Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara
dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai
persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah
mengharuskan kita - apabila kita hendak mengadakan suatu
penyelidikan - terlebih dulu membebaskan diri dari segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada
diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah
kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen,
mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan
silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi.
Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan
demikian itu dengan sendirinya masih perlu dibahas dan
diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah merupakan
suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum
memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah
yang terbaik yang pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan
berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah pula
yang menjadi pegangan Muhammad.

Bagaimana pula mereka yang menjadi pengikutnya itu puas dan
beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala kepercayaan
lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan sekarang mereka
mulai memikirkan masa depan mereka.

Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala
sendiri-sendiri. Mana pula gerangan berhala yang benar dan
mana yang sesat? Di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri
sekitarnya ketika itu memang sudah ada penganut-penganut
Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah
matahari. Mana diantara mereka itu yang benar dan mana pula
yang sesat?

Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan
jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari
segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan.
Merenungkan dan meninjau pada dasarnya sama. Yang pasti ialah
bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan.
Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan.
Manusia berhubungan juga dengan hewan dan dengan benda, bumi
kita berhubungan dengan matahari, dengan bulan dan tata-surya
lainnya. Dan semua itupun berhubungan pula dengan
undang-undang yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar
atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar
bulan, malampun takkan dapat mendahului siang. Andaikata di
antara isi alam ini ada yang berubah atau berganti, niscaya
akan berganti pulalah segala yang ada dalam alam ini.
Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi,
menurut undang-undang yang sudah berjalan sejak jutaan tahun
yang lalu, niscaya bumi dan langit ini sudah akan berubah
pula. Dan oleh karena yang demikian ini tidak terjadi, maka
atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari
situ ia tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia
kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata manusia menyerah.
Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini menyerah semata
kepada Zat ini, persis seperti manusia. Baik manusia, alam,
ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti
dan sumbernya. Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata
ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan
jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus
melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi
itu. Jadi segala yang disembah manusia selain Allah berupa
berhala-berhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari,
hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan martabat
dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal pikiran
manusia serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya; yang
dapat membuat kesimpulan atas undang-undang Tuhan terhadap
ciptaanNya itu, dengan jalan merenungkannya.

Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang diketahui
kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan
wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu adalah puncak dari
bahasa sastra yang telah menjadi mujizat dan akan terus
berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara melukiskannya
dengan keindahan yang luarbiasa itu kini tampak di hadapan
mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi,
berhubungan dengan Zat Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad
menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang akan sampai
ke tujuan. Mereka akan mendapat balasan atas kebaikan itu
bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan
tekun. Setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan
perbuatannya.

"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan dilihatnya;
dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat atompun akan
dilihatnya pula." (Qur'an 99: 7-8)

Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih tinggi
kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan
belenggu yang senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada
manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya
untuk mencapai puncak ketinggian martabat manusia itu! Demi
mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang
yang sudah beriman itu.

Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang begitu
agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat
menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl
bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada
agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya
ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya
sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah
seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai
kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu
mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.

Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa
kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah.
Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang
hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk
kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya,
diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di
kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela
Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencana
dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang
mencaci maki Muhammad dengan tidak semena-mena.

Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia
berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di
jalan Allah sampai akhir hayatnya.

Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan
kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan
dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat
mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak
dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban agama. Terpikir
oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara
seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya.
Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian
esensi ajaran rohaninya yang begitu tinggi, berada di atas
segala pertentangan ambisi politik. 'Utba b. Rabi'a, seorang
bangsawan Arab terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika
mereka dalam tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia akan
bicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal
yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa
saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.

Ketika itulah 'Utba bicara dengan Muhammad.

"Anakku," katanya, "seperti kau ketahui, dari segi keturunan,
engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa
soal besar ketengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka
cerai-berai karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan
menawarkan beberapa masalah, kalau-kalau sebagian dapat
kauterima Kalau dalam hal ini yang kauinginkan adalah harta,
kamipun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan
menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki
pangkat, kami angkat engkau diatas kami semua; kami takkan
memutuskan suatu perkara tanpa ada persetujuanmu. Kalau
kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai
raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf4 yang tak
dapat kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya
dengan harta-benda kami sampai kau sembuh."

Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (41 = Ha
Mim). 'Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu.
Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah
seorang laki-laki yang didorong oleh ambisi harta, ingin
kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit,
melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang
kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang
baik, dengan kata-kata penuh mujizat.

Selesai Muhammad membacakan itu 'Utba pergi kembali kepada
Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat
mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu.
Penjelasannya sangat menarik sekali.

Persoalannya 'Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga
pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak
menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka
kebanggaannya buat mereka.

Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana,
yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam
perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu
Hasyim dan Banu al-Muttalib.

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi,
sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu
itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar.
Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi,
mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya
menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja
dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai
nanti Allah membukakan jalan buat kita semua."

Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abisinia
guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan
dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan
dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria
dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari
Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat
yang baik di bawah Najasyi.5

Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah
sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali
pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah
ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy
melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke Abisinia.
Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria tanpa kaum
isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai
sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.

Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.6

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan
bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin
atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari
orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan,
ataukah karena suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu
dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur?
Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu
akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti dari sejarah
Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa
dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa
risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung
yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini
ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah
tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia.
Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi.
Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja
supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air
mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya
adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang
Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.

Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah
maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin
itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan
Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka
itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab
sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau
menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum
Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat,
sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad,
mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?

Read More......

blogger templates 3 columns | Make Money Online